Saturday, December 17, 2011

SIMPANG KEURAMAT
Semakin hari semakin menggeliat dengan potensi perkebunannya. Simpang Keuramat cocok untuk wisata agrobisnis

Thursday, June 9, 2011

RUPA BUMI

TITIK KOORDINAT KANTOR CAMAT SIMPANG KEURAMAT
LINTANG 5°5’38.98”N ATAU U
GARIS BUJUR 97°6’51.18”E ATAU T

JUMLAH PENDUDUK 8.767
jUMLAH KK 2.386
LUS KECAMATAN 7.978

Sunday, March 6, 2011

Berita terkait PT. Satya Agung (Repost)

Tue, Jul 27th 2010, 11:34
Serambi Indonesia
PT Satya Agung Janji Penuhi Tuntutan Warga
Lhokseumawe
LHOKSEUMAWE - Pihak PT Satya Agung menyatakan bersedia mengukur ulang luas areal Hak Guna Usaha (HGU) kebun perusahaan tersebut di Kecamatan Simpang Keuramat dan Geureudong Pase, Aceh Utara. Karena saat ini sedang dilakukan penanaman kembali pohon karet di daerah tersebut, pihak perusahaan itu meminta masyarakat bersabar untuk beberapa saat ke depan.

Hal itu disampaikan Ketua Tim Pansus III DPRK Aceh Utara, Anwar Sanusi kepada Serambi, kemarin, mengutip hasil pertemuan pihaknya dengan Dirut PT Satya Agung, Jufli Bahruni di Medan beberapa hari lalu. Jika langkah itu dilaksanakan, menurutnya, perusahaan itu telah memenuhi tuntutan warga yang meminta areal HGU-nya diukur ulang karena ada kebun warga yang telah diklain menjadi areal kebun PT Satya Agung.

“PT Satya Agung benar-benar serius. Malah, direktur utamanya menyatakan telah menyerahkan biaya untuk pengukuran ulang areal HGU mereka Rp 400 juta ke Kanwil BPN Aceh dan ke BPN Pusat di Jakarta. Jadwal pengukuran ulang terserah kepada BPN dan hal itu tak tersangkut lagi dengan PT Satya Agung,” jelas Anwar seraya menyebutkan kebun karet dan sawit di dua kecamatan itu yang kini dikelola PT Satya Agung seluas 11.000 hektare.

Bahkan, tambahnya, dalam waktu dekat Dirut PT Satya Agung mengaku akan mengadakan tatap muka dengan masyarakat. “Kami meminta PT Satya Agung menepati janjinya untuk melakukan tatap muka dengan masyarakat agar lebih dekat dan akrab,” harapnya. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, PT Satya Agung diduga banyak mencaplok kebun masyarakat dengan mengklaim masuk wilayah HGU mereka. Perusahaan itu juga telah merugikan negara tidak membayar pajak selama sembilan tahun (1998-2007) yang jumlahnya hampir Rp 3 miliar.(ib)

Hasil Rapat Koordinasi Warga dengan DPRK Aceh Utara
Jumat, 18 Juni 2010 | 09:40
PT.Satya Agung Dilarang Beroperasi
________________________________________
ACEH UTARA-Belum adanya keputusan batas lahan HGU serta mandeknya kasus penembakan menimpa warga, akhirnya PT Satya Agung berhenti beraktivitas sementara.

Keputusan itu merupakan hasil rapat koordinasi perwakilan warga Simpang Kramat dengan DPRK Aceh Utara. Selain itu juga belum tuntasnya kepastian pajak perusahaan kepada Pemkab Aceh Utara. "Kita minta PT. Satya Agung tidak beraktivitas dahulu.

Ini untuk menjaga situasi dan segala kemungkinan yang terjadi,”ungkap Misbahul Munir Wakil Ketua DPRK Aceh Utara di hadapan anggota dewan Hj Ida Suryana, Dandim 0103/Aceh Utara, Letkol Inf.Taufan Akridal, Kapolres Lhokseumawe diwakili kabag ops, AKP Risno Jamal, perwakilan PT.Satya Agung, camat dan pihak LSM, Kamis (17/6).

Informasi diperoleh, pertemuan tersebut diprakarasi masyarakat dengan melayangkan surat ke DPRK Aceh Utara. Hal ini terkait keluhan dan dugaan terkait penggunaan lahan milik warga oleh PT.Satya Agung. Namun setelah terjadinya penembakan warga yang diduga pencuri getah oleh oknum polisi, pertemuan ini lebih fokus tentunya.

Dari keluhan dan masukan warga serta pihak LSM yang hadir, diputuskan tiga hal yang penting dalam rapat hari itu. Sayangnya, perwakilan PT. Satya Agung tidak dapat menjawab langsung keputusan rapat. Akhirnya anggota dewan memberikan limit waktu dua hari kepada PT. Satya Agung memberikan keterangan hasil rapat.

“Ada tiga yang kita petik dari hasil pertemuan kita hari ini, permasalahn HGU dan tapal batas, penembakan warga serta pajak perusahaan untuk Pemkab Aceh Utara. Sebelum ada tanggapan dari pihak manajemen perusahaan, maka kita minta PT.Satya Agung tidak beraktifitas dahulu.

Ini untuk menjaga situasi dan segala kemungkinan yang terjadi,”ungkap Misbahul. Dia menegaskan, jika ada keterangan resmi dari pihak manajemen, maka semua pihak akan duduk kembali. Namun yang terpenting menurut wakil ketua DPRK Aceh Utara adalah tiga hal tersebut harus ada kepastian dari PT.Satya Agung.

“Kalau terus berlarut-larut, seperti pengukuran kembali batas lokasi kebun. Ini dikhawatirkan akan menjadi masalah antara warga dan pihak perusahaan. Begitu juga terkait penggunaan HGU, warga meminta agar pemerintah tidak lagi memperpanjang masa HGU untuk PT.Satya Agung jika sudah berakhir nanti,”ucap Rahul panggilan akrab politisi Partai Aceh ini.

Tuntaskan Kasus Penembakan
Sementara itu, pegiat LSM yang hadir, terutama dari Kontras Aceh mendesak agar kasus penembakan warga hari lalu yang diduga pencuri getah dapat ditindak lanjuti. Pasalnya, penembakan itu dinilai tidak sesuai aturan dan terkesan punya nilai bisnis dengan penempatan personil polisi di perkebunan.

Meski sebenarnya polisi bertugas mengamankan sesuai dengan fungsinya tapi biasanya itu dilakukan di luar lokasi. Bahkan perwakilan kontras Aceh meminta agar pelaku penembakan dapat diproses sesuai hukum yang berlaku.

“DPRK bisa meminta agar pengamanan polisi di perkebunan ditarik. Kita juga meminta agar proses hukum kepada pelaku penembakan dapat dijelaskan. Termasuk kepastian apa saja perhatian yang diberikan oleh kepolisian kepada korban,”ujar Indra dan Edi Saputra.

Menanggapi komentar dari perwakilan warga dan LSM tersebut, Kapolres Lhokseumawe yang diwakili kabag ops, AKP Risno menjelaskan, bahwa tugas pengamanan setiap orang dan lokasi merupakan tugasnya. Namun karena keterbatasan personil, makanya dilakukan pengamanan di lokasi yang dinilai rawan saja.

Sedangkan proses hukum terhadap pelaku sedang dalam dilakukan pihaknya.“Pelaku sedang diperiksa dan dikenakan dua pasal, yaitu kriminal dan juga melanggar kode etik. Jadi jelas kami sedang melakukan proses hukum terhadap anggota polisi yang melakukan penembakan warga yang diduga mencuri getah hari lalu,”pungkasnya. (agt)


Kasus yang menjadi permasalahan warga dengan PT Setya Agung :

1. Batas Lahan HGU

2. Penembakan warga yang belum tuntas

3. Tunggakan pajak PT. Satya Agung ke Pemkab Aceh Utara.



Sun, Jun 20th 2010, 10:11
Serambi Indonesia
Terkait Luas Areal HGU dan Tunggakan Pajak
Pemerintah Didesak Evaluasi PT Satya Agung
Lhokseumawe
LHOKSEUMAWE - LBH Banda Aceh Pos Lhokseumawe mendesak Pemerintah Aceh maupun Pemkab Aceh Utara dan Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Aceh untuk segera mengevaluasi PT Satya Agung terkait adanya dugaan bahwa luas areal garapan perusahaan itu tidak sesuai lagi dengan HGU. Ditambah lagi tunggakan pajak selama sembilan tahun (1998-2007) yang hampir mencapai Rp 3 miliar. Koordinator LBH Banda Aceh Pos Lhokseumawe, Rahmad Hidayat, dalam rilisnya, kemarin menjelaskan, berdasarkan kewenangannya di bidang pertanahan, maka Pemerintah Aceh tidak boleh diam saja menyikapi persoalan ini. Badan Pertanahan Nasional (BPN) pun harus diminta melakukan pengukuran ulang. Pasalnya, informasi awal tentang dugaan terjadinya perluasan areal telah ada.

“Sehingga dapat disimpulkan sementara, dugaan peluasan areal terjadi secara inprosedural, sehingga telah menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar pemasukan kepada negara,” tegasRahmad. Selain itu, Rahmad juga mengharapkan agar Pemerintah Aceh maupun Pemkab Aceh Utara melalui BPN harus melakukan verifikasi setiap dokumen terkait HGU PT Satya Agung. Dan selama itu pula, perusahaan tersebut harus dihentikan aktifitasnya sementara waktu.

“Sedangkan alasan akan hilangnya pekerjaan 390 karyawan bila perusahaan dihentikan tidaklah masuk akal. Sebab, indikasi yang mengarah ke hal itu tidak ada, melainkan yang ada, dengan keberadaan perusahaan di sekitar masyarakat, hanyalah mendatangkan malapetaka. Indikasinya semua orang tahu, yakni fakta Raden kehilangan nyawa akibat ditembak oleh oknum petugas pengamanan perusahaan,” ulasnya. Dia menambahkan, bila BPN telah turun dan melakukan pengukuran, dan nantinya bila ditemukan adanya perluasan areal HGU secara inprosedural, maka secara hukum perusahaan itu bisa dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan dan pembatalan izin HGU. “Bahkan juga pengusahanya dapat diberikan sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam UU No. 51 tahun 1960, tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya,” katanya.

Kepada Kanwil DJP Aceh c.q KPP Lhokseumawe, Rahmad meminta juga agar segera melakukan evaluasi dan pemeriksaan terhadap segala yang terkait dengan beban pajak yang dipikul PT Satya Agung. Pasalnya, penunggakan pajak selama sembilan tahun merupakan suatu hal yang sangat luar biasa. “Kita khawatir dengan angka tunggakan mencapai Rp 3 miliar tersebut akan sangat rentan dengan “permainan” penyelesaian penunggakan pajak. Karena itu, terkait dengan persoalan pajak PT Satya Agung langsung saja pemeriksaannya diambil alih oleh Kanwil DJP Aceh,” jelasnya.

Bila dalam pemeriksaan Kanwil DJP Aceh nantinya ditemukan adanya ketidakpatuhan terhadap beban pajaknya atau lainnya sehingga menimbulkan kerugian bagi negara, maka perusahaan tersebut dapat dipidana sesuai ketentuan di dalam UU No. 6 Tahun 1983 Jo. UU No. 28 Tahun 2007. “Jadi kembali kami pertegas, baik Pemerintah Aceh, Pemkab Aceh Utara maupun Kanwil DJP Aceh harus serius dan benar-benar melaksanakan kewenangannya masing-masing dalam menyikapi persoalan PT Satya Agung. Rakyat menaruh harapan yang sangat besar akan hal ini,” demikian Koordinator LBH Pos Lhokseumawe. Diketahui sebelumnya, Manajer PT Satya Agung Mandalis Silabat mengatakan, kalau masalah pengukuran ulang, pihaknya telah menyurati BPN Aceh. Sedangkan masalah tunggakan pajak sedang diusahakan pengurangannya dikarenakan pada tahun tunggakan, perusahaan tidak beroperasi akibat Aceh sedang dilanda konflik.(bah)

Saturday, March 5, 2011

Metode Penyelesaian Masalah Perkebunan

Besarnya permintaan pasar dan diikuti dengan dukungan pemerintah terhadap kegiatan investasi perkebunan, menyebabkan usaha perkebunan Kelapa Sawit dan Karet telah berkembang pesat di Indonesia, hal ini terbukti bahwa saat ini Indonesia adalah penghasil CPO terbesar di Dunia. Hal tersebut selain membawa pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional dan lokal, juga diikuti dengan dampak negative dari aspek sosial dan lingkungan.

Dampak negative dari aspek sosial dan lingkungan dimaksud adalah merupakan bagian dari gangguan usaha perkebunan secara umum yang sering dihadapi dibeberapa banyak Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dan Karet di Indonesia, hal ini jika tidak dimanage dan dikelola dengan baik konflik akan meluas menjadi anarkis dan mengganggu aktifitas dan kinerja Perusahaan.

Peran Pemerintah Daerah (instansi terkait) selaku pengambil kebijakan/pemberi ijin dan Pembina Perusahaan sangat diperlukan untuk memberikan solusi yang saling menguntungkan kepada Petani/masyarakat dan Perusahaan.

Pada umumnya yang dimaksud gangguan usaha perkebunan adalah :
Suatu keadaan terjadinya gangguan yang dapat mempengaruhi penurunan kinerja usaha di bidang perkebunan
Gangguan Usaha Perkebunan dapat disebabkan oleh Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) maupun Non OPT
Ditinjau dari segi komoditi, Kelapa Sawit dan Karet mendapat gangguan Non OPT, yaitu isue-isue negatif bahwa Kelapa Sawit dan Karet merusak lingkungan, aneka ragam hayati, penyebab deforestasi.

GANGGUAN USAHA PERKEBUNAN

Gangguan perkebunan dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu :

1. Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) antara lain :
1.1. Hama ;
1.2. Penyakit dan,
1.3. Gulma.

2. Non Orginisme Pengganggu Tumbuhan (Non OPT/aspek sosial dan lingkungan) antara lain :
2.1. Tumpang Tindih Lahan antar sesama masyarakat.
2.2. Tumpang Tindih Lahan Perkebunan dengan Pertambangan
2.3. Okupasi Lahan/Penyerobotan Lahan oleh Masyarakat.
2.4. Masyarakat Menuntut Pengembalian Lahan.
2.5. Pembebasan Lahan dan Tuntutan Ganti Rugi Lahan.
2.6. Jual Beli Lahan/Kebun
2.7. Pola Kemitraan (pola yang diterapkan) dan Kesepakatan Kemitraan
2.8. Tuntutan masyarakat untuk dipekerjakan sebagai karyawan, maupun sebagai Kontraktor dengan alasan sebagai Putra Daerah.
2.9. Lahan belum dibebaskan sudah di Land Clearing (LC)
2.10. Kebun Kas Gampong
2.11. Pencurian/Penjarahan TBS (Produksi)
2.12. Penolakan salah satu lembaga tertentu terhadap Sawit.
2.13. Isue-isue negative lain tentang Kelapa Sawit dan Karet dan Perusahaan.
2.14. Pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan hidup

Bahwa Gangguan Usaha Perkebunan/Konflik yang sering dan cukup banyak terjadi utamanya yang menyangkut kasus lahan sebanyak 80%, sedangkan non lahan 20%.


P0LA PENANGGULANGAN/KONFLIK (Gangguan Usaha Perkebunan)
A. PERUSAHAAN (Usaha Perkebunan) :
1. PREEMTIF (Pencegaha Dini)=> Berdayakan Community Development (CD) dan Membangun Kemitraaan.
2. PREVENTIF => Meningkatkan kuantitas dan kualitas SATPAM
3 PENEGAKAN HUKUM => Melakukan Penyelidikan dan Penyidikan.
4. LEGALITAS USAHA PERKEBUNAN (PERUSAHAAN) => Izin Loaksi, Ozin Usaha Perkebunan, AMDAL dan HGU
5. PENERAPAN PASAL PIDANA =>UU RI NO. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, UU RI NO. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan KUHP

KERANGKA FIKIR PENYELESAIAN/KONFLIK (Gangguan Usaha Perkebunan)

1. GANGGUAN USAHA PERKEBUNAN =>Multidimensi, Hukum, Sosial, Budaya, Politik dan Ekonomi, 80% menyangkut Lahan dan tidak dapat diselesaikan sendiri secara parsial

2. PERANGKAT HUKUM DAN KEWENANGAN PENYELESAIAN ADA PADA BEBERAPA INSTANSI =>Gampongkan untuk penyelesaian=>Pembentukan Tim Koordinasi =>PENANGANAN PENYELESAIAN SECARA TERPADU =>IKLIM USAHA PERKEBUNAN KONDUSIF.

UPAYA PENANGGULANGAN/PENYELESAIAN KONFLIK (Gangguan Usaha Perkebunan)

1. Adanya keterbukaan antara Masyarakat sebagai pemilik lahan, Perusahaan sebagai pemilik modal dan KUD sebagai mitra Perusahaan. Sosialisasi secara transparan dengan pendekatan partisipatif/partisipasi masyarakat/ petani/KUD.
2. Komunikasi yang intensif dilakukan dengan pihak-pihak yang bersengketa (masyarakat pemilik lahan) guna mengenali secara cermat serta mengetahui :
2.1. Inti permasalahan yang dipersengketakan/dituntut oleh Petani/Masyarakat
2.2. Latar belakang penyebab munculnya permasalahan/tuntutan.
2.3. Tuntutan penyelesaian yang diminta/diharapkan oleh Petani/Masyarakat
3. Melaksanakan Program-program Community Development (CD) dan CRS.
4. Musyawarah secara terbuka dengan pihak yang bersengketa (Petani/Masyarakat) untuk membahas permasalahan tersebut agar diperoleh penyelesaian yang sifatnya win-win solution dengan tetap memperhatikan aspek hukum (peraturan perundang-undangan yang berlaku), budaya, sosial, dan kearifan lokal dengan melibatkan para pemimpin, Tomas, Todat, Perangkat Gampong/Dusun dan Muspika (TP2K/TP2D)

5. Membangun system komunikasi yang efektif dan efisien dengan Masyarakat, KUD, Tomas, Todat, LSM, Perangkat Gampong/Dusun, Muspika (TP2K/TP2D) dan lain-lain serta koordinasi dengan Instansi Terkait yang memiliki kewenangan untuk penyelesaian secara musyawarah.
6. Potensi sumber mata pencaharian lain disamping Kelapa Sawit dan Karet perlu dikembangkan untuk semakin meningkatnya kondisi ekonomi petani/masyarakat di sekitar kebun.
7. Memetakan daerah-daerah yang rawan/potensial terhadap gangguan usaha perkebunan/konflik dan mengambil langkah-langkah strategis dalam penyelesaiannya.
8. Jika persoalannya sangat jelas berupa pelanggaran hukum sebaiknya diselesaikan melalui JALUR HUKUM.


HAL-HAL YANG PERLU DI PERHATIKAN DALAM PENANGGULANGAN/PENYELESAIAN KONFLIK (Gangguan Usaha Perkebunan)

1. Hendaknya Perusahaan membuat Juklak yang lebih komprehensif mengenai Sosialisasi Pola Kemitraan dan merupakan pegangan para Humas/Tim Sosialisasi di Lapangan.
2. Hendaknya dibuatkan pemetaan konflik di tiap-tiap Dusun agar dalam penyelesaiannya lebih fokus dan dapat diantisipasi secara dini permasalahan-permasalahan yang akan muncul dikemudian hari.
3. Agar Penguatan Tim Sosialisasi/Humas dan Community Development (CD) lebih ditingkatkan dan diberdayakan untuk membangun kemitraan yang harmonis dengan petani/masyarakat, KUD maupun pihak-pihak terkait lainnya.
4. Agar meningkatkan kuantitas dan kualitas SATPAM/Security dengan mengikutsertakan pendidikan/Pelatihan bagi anggota Satpam di Kepolisian, guna mendukung kelancaran operasional Perusahaan di lapangan.
5. Intensitas alih informasi dan teknologi harus ditingkatkan. Pertemuan pada organisasi petani/masyarakat menjadi wahana belajar dan memperoleh akses informasi.
6. Adanya Pelatihan manajemen terhadap Pengurus KUD yang bermitra dengan Perusahaan.
7. Agar dibuat Nota Kesepahaman antara Perusahaan dengan Koperasi (KUD) yang ditindaklanjuti dalam suatu Perjanjian Kesepakatan Bersama yang diketahui oleh Bupati.
8. Hendaknya terhadap Petani/Masyarakat yang melakukan kegiatan gangguan usaha perkebunan, jika persoalannya sangat jelas berupa pelanggaran hukum diselesaikan melalui JALUR HUKUM.
9. Melakukan penguatan dan membangun system komunikasi yang efektif dan efisien dengan Masyarakat, KUD, Tomas, Todat, LSM, Perangkat Gampong/Dusun, Muspika (TP2K/TP2D) dan lain-lain serta koordinasi dengan Instansi Terkait yang memiliki kewenangan untuk penyelesaian secara musyawarah.


KESIMPULAN

1. Bahwa Gangguan Usaha Perkebunan/konflik dengan Petani/masyarakat dapat dihindari apabila adanya keterbukaan/transparan, sosialisasi yang jelas, mengakomodir petani/masyarakat untuk bekerja di Perusahaan, melibatkan para pemimpin seperti Todat,Tomas, Kadus, Kades, Muspika (TP2K/TP2D), KUD dan Instansi terkait lainnya, adanya Nota Kesepahaman Perusahaan dengan Koperasi (KUD) yang ditindaklanjuti dalam suatu Perjanjian Kesepakatan Bersama.
2. Bahwa Penyelesaian Gangguan Usaha Perkebunan/konflik tidak dapat dilakukan sendiri secara parsial oleh Perusahaan mengingat hal tersebut sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai budaya, adat istiadat, kebiasaan, sumber daya manusia, peladang berpindah dan lain-lain
3. Bahwa Gangguan Usaha Perkebunan/Konflik dapat menghambat dan menggangu kelancaran seluruh proses pembangunan kebun, jika penyelesaiannya tidak dilakukan secara komprhensif dan terkoordinasi dengan pihak-pihak terkait.
4. Bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan terjadinya gangguan usaha perkebunan/konflik antara lain adalah ; ketidakkonsistenan perusahaan, kebijakan yang diterapkan/dilaksanakan dilapangan tidak sejalan/tidak selaras dengan kebijakan management, koordinasi sangat lemah, terlalu banyak janji kepada masyarakat padahal hal tersebut sangat sulit untuk dipenuhi, pola yang diterapkan tidak jelas sehingga pada saat pasca panen timbul masalah, pembagian hasil, penguasaaan lahan oleh masyarakat tumpang tindih, adanya okupasi/penyerobotan lahan dari satu masyarakat kepada masyarakat yang lainnya, pencemaran lingkungan/kerusakan lingkungan, adanya oknum-oknum tertentu yang memprovokasi masyarakat agar menolak sawit, penyerapan tenaga kerja lokal dan lain-lain.
5. Agar dalam penyelesaiannya konflik lebih fokus dan dapat diantisipasi secara dini, perlu adanya pemetaan konflik di tiap-tiap Dusun/Wilayah kerja Perusahaan.
6. Membangun Nilai-nilai budaya, gotong royong, kerjasama, suka berkelompok, komitmen terhadap kesepakatan (drasa) harus dipertahankan dan nilai-nilai yang pudar dihidupkan kembali untuk membangun kemandirian.
7. Bahwa Gangguan Usaha Perkebunan/Konflik yang sering dan cukup banyak terjadi utamanya yang menyangkut kasus lahan sebanyak 80%, sedangkan non lahan 20%.

Kritik saran kirimkan ke e-mail kramatsimpang@yahoo.com

Peraturan Pemerintah Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Sebagaimana yang kita ketahui Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mengusung beberapa pembaruan dalam bidang hukum korporasi jika dibandingkan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1995. Salah satu ketentuan yang diatur dalam UUPT ini adalah mengenai adanya Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL”).
Pasal 1 angka 3 UUPT menjelaskan TJSL adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Pengaturan mengenai TJSL ditegaskan dalam Pasal 74 UUPT yang menjelaskan bahwa TJSL ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Pelaksanaan dari TJSL ini merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Sedangkan bagi Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban TJSL ini dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peratuarn perundang-undangan.
UUPT menjelaskan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai TJSL ini akan diatur dalam Peraturan Pmerintah. Berikut adalah beberapa hal penting yang perlu diketahui dari rancangan Peraturan Pemerintah tentang TJSL (RPP TJSL):
1. TJSL dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan Perseroan. TJSL yang dilaksanakan di dalam lingkungan Perseroan misalnya keamanan, kesehatan, dan keselamatan kerja (K3). Sedangkan TJSL yang dilaksanakan di luar lingkungan Perseroan, misalnya pemberdayaan masyarakat (community development) sepanjang diatur dalam Undang-Undang terkait beserta peraturan pelaksanaannya, pengelolaan limbah, pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup.
2. TJSL dilakukan berdasarkan rencana kerja tahunan yang antara lain memuat program rencana kegiatan TJSL yang akan dilaksanakan oleh Perseroan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaannya. Anggaran untuk pelaksanaan TJSL sendiri disusun dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran dan diperhitungkan sebagai biaya.
3. Adanya sistem “punishment and reward” bagi Perseroan dalam menjalankan TJSL.
Sehubungan dengan beberapa poin tersebut, saya menambahkan beberapa catatan dalam RPP TJSL ini, yaitu sebagai berikut:
1. TJSL yang dilaksanakan di dalam lingkungan Perseroan yang berupa K3 tampaknya akan mengalami over regulated dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan mengingat kedua peraturan ini akan mengatur hal yang sama. Akan lebih sederhana jika dalam RPP TJSL ini dijelaskan kalau ketentuan mengenai pelaksanaan TJSL di dalam lingkungan Perseroan yang terkait K3 merujuk pada peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan.
2. Mengenai apa yang dimaksudkan “kepatutan” dan “kewajaran” dalam RPP TJSL masih belum secara diatur, dalam RPP TJSL hanya disebutkan yang dimaksud dengan “kepatutan dan kewajaran” adalah sesuai dengan kemampuan keuangan Perseroan dan potensi risiko dan tanggung jawab yang harus ditanggung oleh Perseroan sesuai dengan kegiatan usahanya. Untuk mengukur kadar kepatutan dan kewajaran, ada baiknya dapat dirujuk pada Laporan Keuangan Tahunan Perseroan sebagai tolak ukur perhitungan apakah Perseroan telah melaksanakan TJSL secara patut dan wajar. Selain itu sebaiknya ada lembaga independent yang menilai mengenai permasalahan ini. Tentunya ada criteria khusus yang sebaiknya diatur lebih lanjut mengenai Perseroan apa yang perlu di”nilai” oleh lembaga independent tersebut.
3. Mengenai sistem “punishment and reward” bagi Perseroan dalam menjalankan TJSL, ada baiknya Pemerintah memberikan insentif pajak bagi perseroan yang menjalankan atau melaksanakan TJSL lebih dari apa yang direncanakan dalam anggarannya. Insentif pajak sampai saat ini masih merupakan salah satu insentif “idola” bagi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia. Diharapkan dengan adanya insentif pajak, Perseroan akan berlomba-lomba untuk melaksanakan TJSL lebih dari yang dianggarkannya. Sebaliknya, apabila Perseroan tidak melaksanakan TJSL tanpa ada alasan yang tepat, maka ada baiknya Pemerintah mengumumkan permasalahan ini kepada masyarakat sehingga Perseroan tersebut akan mendapatkan sanksi social yang cukup besar dari masyarakat, yaitu kehilangan kepercayaan terhadap Perseroan tersebut.
Demikian lah sekilas pembahasan mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah tentang TJSL. Diharapkan kedepannya Peraturan ini akan lebih detail mengatur mengenai permasalahan TJSL, khususnya mengenai besaran TJSL yang harus dianggarkan oleh Perseroan setiap tahunnya

kritik dan saran e-mailkan ke kramatsimpang@yahoo.com

Wednesday, February 23, 2011

RAPAT KOORDINASI CAMAT SE - ACEH

Rapat koordinasi Camat se - Aceh yang diadakan di Hermes Palace Banda Aceh 23-25 Pebruary 2011 diikuti oleh semua Camat yang ada di Pemerintah Aceh kecuali Camat dari Kabupaten Aceh Barat Daya yang tidak mendapatkan izin ikut dari Bupati Aceh Barat Daya Akmal Ibrahim, SH

Adapun tujuan diselenggrakan Rapat Koordinasi Camat se Pemerintah Aceh adalah untuk memfasiltasi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyelesaikan seluruh permasalahan yang dihadapi dalam peneyelenggaraan pemerintahan terutama ditingkat Kecamatan. Selain itu diharapakan dengan Rapat Koordinasi Camat se Pemerintah Aceh tersebutakan menambah pengetahuan dan ketrampilan bagi aparat pemerintah Kabupaten/Kota dan Kecamatan mengenai pelaksanaan tugas dan fungsinya.

Sunday, February 13, 2011

SEISMIK

Pengertian seismik hingga ke tahap aktivitas pengoboran minyak dengan menggunakan bahan peledak berupa dinamit.

Pengaruh seismik terhadap tanaman, karet, sawit, jagung dll ? jarak 1 m
Hasil penelitian tidak menimbulkan kerusakan lingkungan di sekitarnya, mengingat dinamit yang ditanam di kedalaman
30 meter dibawah tanah.


Harus ada ganti rugi lahan masyarkat, itu wajar

Harus ada sosialisasi kemasyarakat jika tidak melakukan sosialisasi terlebih dahulu, maka dikhawatirkan masyarakat tidak tahu dan berujung pada perlawanan. Karena itu, Camat Simpang Kramat meminta agar sosialisasi dilakukan dari mulai tingkat Gampong hingga Kecamatan

Metode apa yang dipakai, Refleksi atau Geofisika
Tahapannya bagaimana.
Adapun tahapan-tahapan pekerjaan yang umum digunakan dalam metoda geofisika adalah :
ï Survei pendahuluan (penentuan lintasan)
ï Pemancangan (penandataan titik-titik ukur) dalam areal target
ï Pengukuran lapangan
ï Pembuatan peta-peta geofisika
ï Penarikan garis-garis isoanomali
ï Penggambaran profile
ï Interpretasi anomali


Perencanaan Survei

Tahap pertama dari suatu perencanaan survei seismik refraksi adalah memilih lokasi dan panjang lintasan survei dengan menggunakan peta topografi daerah penyelidikan. Lokasi lintasan survei harus di set untuk mencapai tujuan survei secara efisien, yaitu menggunakan informasi yang ada pada peta topografi dan peta geologi. Rekaman titik penerima kedatangan pertama (first arrival) merupakan gelombang langsung dan kedatangan pertama (first break) dari gelombang refraksi tidak muncul.

Pengambilan Data

Untuk mendapatkan kualitas rekaman seismik refraksi yang tinggi dan mengandung bentuk first break yang tajam perlu dilakukan beberapa teknik, diantaranya adalah stacking, mempertinggi kekuatan sumber dan filtering. Sistem perekam seismik yang bisa digunakan adalah system perekam seismik 24 channel. Sedangkan sumber seismik yang sering digunakan adalah dinamit. Bila menggunakan dinamit sebagai sumber, perlu dipilih tempat yang tepat untuk melakukan peledakan, yaitu tempat dimana energi dinamit dapat terkonversi menjadi energi seismik secara efektif. Biasanya, dinamit diledakkan di dalam lubang bawah permukaan. Bila jarak sumber ke penerima lebih dari seratus meter, akan lebih baik meledakkan dinamit di dalam air dengan kedalaman lebih dari 50 cm atau membuat lubang lebih dalam sehingga ledakan dinamit menjadi lebih efektif.